Isnin, 30 Januari 2012

Bayi Tabung Dalam Kacamata Syariat

Proses pembuahan dengan metode bayi tabung antara sel sperma suami dengan sel telur isteri, sesungguhnya merupakan upaya medis untuk memungkinkan sampainya sel sperma suami ke sel telur isteri. Sel sperma tersebut kemudian akan membuahi sel telur bukan pada tempatnya yang alami. Sel telur yang telah dibuahi ini kemudian diletakkan pada rahim isteri dengan suatu cara tertentu sehingga kehamilan akan terjadi secara alamiah di dalamnya.

Pada dasarnya pembuahan yang alami terjadi dalam rahim melalui cara yang alami pula (hubungan seksual), sesuai dengan fitrah yang telah ditetapkan Allah untuk manusia. Akan tetapi pembuahan alami ini terkadang sulit terwujud, misalnya karena rusaknya atau tertutupnya saluran indung telur (tuba Fallopii) yang membawa sel telur ke rahim, serta tidak dapat diatasi dengan cara membukanya atau mengobatinya. Atau karena sel sperma suami lemah atau tidak mampu menjangkau rahim isteri untuk bertemu dengan sel telur, serta tidak dapat diatasi dengan cara memperkuat sel sperma tersebut, atau mengupayakan sampainya sel sperma ke rahim isteri agar bertemu dengan sel telur di sana. Semua ini akan meniadakan kelahiran dan menghambat suami isteri untuk berbanyak anak. Padahal Islam telah menganjurkan dan mendorong hal tersebut dan kaum muslimin pun telah disunnahkan melakukannya.

Kesulitan tersebut dapat diatasi dengan suatu upaya medis agar pembuahan –antara sel sperma suami dengan sel telur isteri– dapat terjadi di luar tempatnya yang alami. Setelah sel sperma suami dapat sampai dan membuahi sel telur isteri dalam suatu wadah yang mempunyai kondisi mirip dengan kondisi alami rahim, maka sel telur yang telah terbuahi itu lalu diletakkan pada tempatnya yang alami, yakni rahim isteri. Dengan demikian kehamilan alami diharapkan dapat terjadi dan selanjutnya akan dapat dilahirkan bayi secara normal.

Proses seperti ini merupakan upaya medis untuk mengatasi kesulitan yang ada, dan hukumnya boleh (ja’iz) menurut syara’. Sebab upaya tersebut adalah upaya untuk mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam, yaitu kelahiran dan berbanyak anak, yang merupakan salah satu tujuan dasar dari suatu pernikahan. Diriwayatkan dari Anas RA bahwa Nabi SAW telah bersabda :


“Menikahlah kalian dengan perempuan yang penyayang dan subur (peranak), sebab sesungguhnya aku akan berbangga di hadapan para nabi dengan banyaknya jumlah kalian pada Hari Kiamat nanti.” (HR. Ahmad)


Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA bahwa Rasulullah saw telah bersabda :

“Menikahlah kalian dengan wanita-wanita yang subur (peranak) karena sesungguhnya aku akan membanggakan (banyaknya) kalian pada Hari Kiamat nanti.”(HR. Ahmad)


Dengan demikian jika upaya pengobatan untuk mengusahakan pembuahan dan kelahiran alami telah dilakukan dan ternyata tidak berhasil, maka dimungkinkan untuk mengusahakan terjadinya pembuahan di luar tenpatnya yang alami. Kemudian sel telur yang telah terbuahi oleh sel sperma suami dikembalikan ke tempatnya yang alami di dalam rahim isteri agar terjadi kehamilan alami. Proses ini dibolehkan oleh Islam, sebab berobat hukumnya sunnah (mandub) dan di samping itu proses tersebut akan dapat mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam, yaitu terjadinya kelahiran dan berbanyak anak.

Pada dasarnya, upaya untuk mengusahakan terjadinya pembuahan yang tidak alami tersebut hendaknya tidak ditempuh, kecuali setelah tidak mungkin lagi mengusahakan terjadinya pembuahan alami dalam rahim isteri, antara sel sperma suami dengan sel telur isterinya.

Dalam proses pembuahan buatan dalam cawan untuk menghasilkan kelahiran tersebut, disyaratkan sel sperma harus milik suami dan sel telur harus milik isteri. Dan sel telur isteri yang telah terbuahi oleh sel sperma suami dalam cawan, harus diletakkan pada rahim isteri.

Hukumnya haram bila sel telur isteri yang telah terbuahi diletakkan dalam rahim perempuan lain yang bukan isteri, atau apa yang disebut sebagai “ibu pengganti” (surrogate mother). Begitu pula haram hukumnya bila proses dalam pembuahan buatan tersebut terjadi antara sel sperma suami dengan sel telur bukan isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri. Demikian pula haram hukumnya bila proses pembuahan tersebut terjadi antara sel sperma bukan suami dengan sel telur isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri. 

Ketiga bentuk proses di atas tidak dibenarkan oleh hukum Islam, sebab akan menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab, yang telah diharamkan oleh ajaran Islam. 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa dia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda ketika turun ayat li’an :


“Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apa pun dari Allah dan Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu di hadapan orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat nanti).” (HR. Ad Darimi)


Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :


“Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.” (HR. Ibnu Majah)


Ketiga bentuk proses di atas mirip dengan kehamilan dan kelahiran melalui perzinaan, hanya saja di dalam prosesnya tidak terjadi penetrasi penis ke dalam vagina. Oleh karena itu laki-laki dan perempuan yang menjalani proses tersebut tidak dijatuhi sanksi bagi pezina (hadduz zina), akan tetapi dijatuhi sanksi berupa ta’zir*, yang besarnya diserahkan kepada kebijaksaan hakim (qadli).

Bayi Tabung Menurut Ajaran Agama Islam

Ajaran syariat Islam mengajarkan kita untuk tidak boleh berputus asa dan menganjurkan untuk senantiasa berikhtiar (usaha) dalam menggapai karunia Allah SWT. Demikian halnya di ntara pancamaslahat yang diayomi oleh maqashid asy-syari’ah (tujuan filosofis syariah Islam) adalah hifdz an-nasl (memelihara fungsi dan kesucian reproduksi) bagi kelangsungan dan kesinambungan generasi umat manusia. Allah telah menjanjikan setiap kesulitan ada solusi (QS.Al-Insyirah:5-6) termasuk kesulitan reproduksi manusia dengan adanya kemajuan teknologi kedokteran dan ilmu biologi modern yang Allah karuniakan kepada umat manusia agar mereka bersyukur dengan menggunakannya sesuai kaedah ajaran-Nya.

Teknologi bayi tabung dan inseminasi buatan merupakan hasil terapan sains modern yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga meskipun memiliki daya guna tinggi, namun juga sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika bila dilakukan oleh orang yang tidak beragama, beriman dan beretika sehingga sangat potensial berdampak negatif dan fatal. Oleh karena itu kaedah dan ketentuan syariah merupakan pemandu etika dalam penggunaan teknologi ini sebab penggunaan dan penerapan teknologi belum tentu sesuai menurut agama, etika dan hukum yang berlaku di masyarakat.

Seorang pakar kesehatan New Age dan pemimpin redaksi jurnal Integratif Medicine, DR. Andrew Weil sangat meresahkan dan mengkhawatirkan penggunaan inovasi teknologi kedokteran tidak pada tempatnya yang biasanya terlambat untuk memahami konsekuensi etis dan sosial yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, Dr. Arthur Leonard Caplan, Direktur Center for Bioethics dan Guru Besar Bioethics di University of Pennsylvania menganjurkan pentingnya komitmen etika biologi dalam praktek teknologi kedokteran apa yang disebut sebagai bioetika. Menurut John Naisbitt dalam High Tech - High Touch (1999) bioetika bermula sebagai bidang spesialisasi paada 1960 –an sebagai tanggapan atas tantangan yang belum pernah ada, yang diciptakan oleh kemajuan di bidang teknologi pendukung kehidupan dan teknologi reproduksi.

Inseminasi buatan ialah pembuahan pada hewan atau manusia tanpa melalui senggama (sexual intercourse). Ada beberapa teknik inseminasi buatan yang telah dikembangkan dalam dunia kedokteran, antara lain adalah: Pertama; Fertilazation in Vitro (FIV) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri kemudian diproses di vitro (tabung), dan setelah terjadi pembuahan, lalu ditransfer di rahim istri. Kedua; Gamet Intra Felopian Tuba (GIFT) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri, dan setelah dicampur terjadi pembuahan, maka segera ditanam di saluran telur (tuba palupi) Teknik kedua ini terlihat lebih alamiah, sebab sperma hanya bisa membuahi ovum di tuba palupi setelah terjadi ejakulasi melalui hubungan seksual.

Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan Islam termasuk masalah kontemporer ijtihadiah, karena tidak terdapat hukumnya seara spesifik di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bahkan dalam kajian fiqih klasik sekalipun. Karena itu, kalau masalah ini hendak dikaji menurut Hukum Islam, maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang lazimnya dipakai oleh para ahli ijtihad (mujtahidin), agar dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan jiwa Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan sumber pokok hukum Islam. Namun, kajian masalah inseminasi buatan ini seyogyanya menggunakan pendekatan multi disipliner oleh para ulama dan cendikiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu yang relevan, agar dapat diperoleh kesimpulan hukum yang benar-benar proporsional dan mendasar. Misalnya ahli kedokteran, peternakan, biologi, hukum, agama dan etika.

Masalah inseminasi buatan ini sejak tahun 1980-an telah banyak dibicarakan di kalangan Islam, baik di tingkat nasional maupun internasional. Misalnya Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam Muktamarnya tahun 1980, mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor sebagaimana diangkat oleh Panji Masyarakat edisi nomor 514 tanggal 1 September 1986. Lembaga Fiqih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam sidangnya di Amman tahun 1986 mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor atau ovum, dan membolehkan pembuahan buatan dengan sel sperma suami dan ovum dari isteri sendiri. Vatikan secara resmi tahun 1987 telah mengecam keras pembuahan buatan, bayi tabung, ibu titipan dan seleksi jenis kelamin anak, karena dipandang tak bermoral dan bertentangan dengan harkat manusia. Mantan Ketua IDI, dr. Kartono Muhammad juga pernah melemparkan masalah inseminasi buatan dan bayi tabung. Ia menghimbau masyarakat Indonesia dapat memahami dan menerima bayi tabung dengan syarat sel sperma dan ovumnya berasal dari suami-isteri sendiri.

Dengan demikian, mengenai hukum inseminasi buatan dan bayi tabung pada manusia harus diklasifikasikan persoalannya secara jelas. Bila dilakukan dengan sperma atau ovum suami isteri sendiri, baik dengan cara mengambil sperma suami kemudian disuntikkan ke dalam vagina, tuba palupi atau uterus isteri, maupun dengan cara pembuahannya di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di dalam rahim istri; maka hal ini dibolehkan, asal keadaan suami isteri tersebut benar-benar memerlukan inseminasi buatan untuk membantu pasangan suami isteri tersebut memperoleh keturunan. Hal ini sesuai dengan kaidah ‘al hajatu tanzilu manzilah al dharurat’ (hajat atau kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti keadaan darurat).

Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma dan ovum, maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina. Sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi itu tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya. Menurut hemat penulis, dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan landasan menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan donor ialah:

Pertama; firman Allah SWT dalam surat al-Isra:70 dan At-Tin:4. Kedua ayat tersebuti menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dan Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya manusia bisa menghormati martabatnya sendiri serta menghormati martabat sesama manusia. Dalam hal ini inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya dapat merendahkan harkat manusia sejajar dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan yang diinseminasi.

Kedua; hadits Nabi Saw yang mengatakan, “tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang lain).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan dipandang Shahih oleh Ibnu Hibban).

Berdasarkan hadits tersebut para ulama sepakat mengharamkan seseorang melakukan hubungan seksual dengan wanita hamil dari istri orang lain. Tetapi mereka berbeda pendapat apakah sah atau tidak mengawini wanita hamil. Menurut Abu Hanifah boleh, asalkan tidak melakukan senggama sebelum kandungannya lahir. Sedangkan Zufar tidak membolehkan. Pada saat para imam mazhab masih hidup, masalah inseminasi buatan belum timbul. Karena itu, kita tidak bisa memperoleh fatwa hukumnya dari mereka.

Hadits ini juga dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan inseminasi buatan pada manusia dengan donor sperma dan/atau ovum, karena kata maa’ dalam bahasa Arab bisa berarti air hujan atau air secara umum, seperti dalam Thaha:53. Juga bisa berarti benda cair atau sperma seperti dalam An-Nur:45 dan Al-Thariq:6.

Dalil lain untuk syarat kehalalan inseminasi buatan bagi manusia harus berasal dari ssperma dan ovum pasangan yang sah menurut syariah adalah kaidah hukum fiqih yang mengatakan “dar’ul mafsadah muqaddam ‘ala jalbil mashlahah” (menghindari mafsadah atau mudharat) harus didahulukan daripada mencari atau menarik maslahah/kebaikan.

Sebagaimana kita ketahui bahwa inseminasi buatan pada manusia dengan donor sperma dan/atau ovum lebih banyak mendatangkan mudharat daripada maslahah. Maslahah yang dibawa inseminasi buatan ialah membantu suami-isteri yang mandul, baik keduanya maupun salah satunya, untuk mendapatkan keturunan atau yang mengalami gangguan pembuahan normal. Namun mudharat dan mafsadahnya jauh lebih besar, antara lain berupa:

1. percampuran nasab, padahal Islam sangat menjada kesucian/kehormatan kelamin dan kemurnian nasab, karena nasab itu ada kaitannya dengan kemahraman dan kewarisan.
2. Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum alam.
3. Inseminasi pada hakikatnya sama dengan prostitusi, karena terjadi percampuran sperma pria dengan ovum wanita tanpa perkawinan yang sah.
4. Kehadiran anak hasil inseminasi bisa menjadi sumber konflik dalam rumah tanggal.
5. Anak hasil inseminasi lebih banyak unsur negatifnya daripada anak adopsi.
6. Bayi tabung lahir tanpa melalui proses kasih sayang yang alami, terutama bagi bayi tabung lewat ibu titipan yang menyerahkan bayinya kepada pasangan suami-isteri yang punya benihnya sesuai dengan kontrak, tidak terjalin hubungan keibuan secara alami. (QS. Luqman:14 dan Al-Ahqaf:14).

Adapun mengenai status anak hasil inseminasi buatan dengan donor sperma dan/atau ovum menurut hukum Islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan anak hasil prostitusi atau hubungan perzinaan. Dan kalau kita bandingkan dengan bunyi pasal 42 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” maka tampaknya memberi pengertian bahwa anak hasil inseminasi buatan dengan donor itu dapat dipandang sebagai anak yang sah. Namun, kalau kita perhatikan pasal dan ayat lain dalam UU Perkawinan ini, terlihat bagaimana peranan agama yang cukup dominan dalam pengesahan sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan. Misalnya pasal 2 ayat 1 (sahnya perkawinan), pasal 8 (f) tentang larangan perkawinan antara dua orang karena agama melarangnya, dll. lagi pula negara kita tidak mengizinkan inseminasi buatan dengan donor sperma dan/atau ovum, karena tidak sesuai dengan konstitusi dan hukum yang berlaku.

Sedangkan hukum inseminasi buatan pada hewan dan hasilnya sebagaimana yang sering orang lakukan juga harus diddudukkanmasalahnya. Pada umumnya, hewan baik yang hidup di darat, air dan udara, adalah halal dimakan dan dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk kesejahteraan hidupnya, kecuali beberapa jenis makanan/hewan yang dilarang dengan jelas oleh agama.

Kehalalan hewan pada umumnya dan hewan ternak pada khususnya adalah berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah:29, yang menyatakan bahwa semua yang ada di planet bumi ini untuk kesejahteraan manusia. Dan juga surat Al-Maidah:2, yang menyatakan bahwa semua hewan ternak dihalalkan kecuali yang tersebut dalam Al-An’am:145, An-Nahl:115, Al-Baqoroh:173 dan Al-Maidah:3. Ketiga surat dan ayat yang pertama tersebut hanya mengharamkan 4 jenis makanan saja, yaitu bangkai, darah, babi dan hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Sedangkan surat dan ayat yang disebut terakhir mengharamkan 10 jenis makanan, yaitu 4 macam makanan yang tersebut di atas ditambah 6, yakni: 1. Hewan yang mati tercekik, 2. Yang mati dipukul, 3. Yang mati terjatuh, 4. Yang mati ditanduk, 5. Yang mati diterkam binatang buas, kecuali yang sempat disembelih dan 6. Yang disembelih untuk disajikan pada berhala.

Mengenai hewan yang halal dan yang haram, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, yaitu:

a. ulama yang hanya mengharamkan 10 macam makanan/hewan yang tersebut dalam Al-Maidah:3, sebab ayat ini termasuk wahyu terakhir yang turun. Mahmud Syaltut, mantan Rektor Univ. Al-Azhar mendukung pendapat ini.

b. Ulama hadits menambah beberapa larangan berdasarkan hadits Nabi, yaitu antara lain: semua binatang buas yang bertaring, semua burung yang berkuku tajam, keledai peliharaan/jinak dan peranakan kuda dengan keledai (bighal).

c. Ulama fiqih/mazhab menambah daftar sejumlah hewan yang haram dimakan berdasarkan ijtihad, yaitu antara lain: semua jenis anjing termasuk anjing hutan dan anjing laut, rubah, gajah, musang/garangan, burung undan, rajawali, gagak, buaya, tawon, semua jenis ulat dan serangga.


d. Rasyid Ridha, pengaran Tafsir Al-Manar berpendapat bahwa yang tidak jelas halal/haramnya berdasarkan nash Al-Qur’an itu ada dua macam: 1. semua jenis hewan yang baik, bersih dan enak/lezat (thayyib) adalah halal. 2. Semua hewan yang jelek, kotor dan menjijikan adalah haram. Namun kriteria baik, bersih, enak, menarik atau kotor, jelek dan menjijikan tidak ada kesepakatan ulama di dalamnya. Apakah tergantung selera dan watak masing-masing orang atau menurut ukuran yang umum.

Mengembangbiakkan dan pembibitan semua jenis hewan yang halal diperbolehkan oleh Islam, baik dengan jalan inseminasi alami (natural insemination) maupun inseminasi buatan (artificial insemination). Dasar hukum pembolehan inseminasi buatan ialah:

Pertama; Qiyas (analogi) dengan kasus penyerbukan kurma. Setelah Nabi Saw hijrah ke Madinah, beliau melihat penduduk Madinah melakukan pembuahan buatan (penyilangan/perkawinan) pada pohon kurma. Lalu Nabi menyarankan agar tidak usah melakukan itu. kemudian ternyata buahnya banyak yang rusak. Setelah hal itu dilaporkan pada Nabi, beliau berpesan : “lakukanlah pembuahan buatan, kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.” Oleh karena itu, kalau inseminasi buatan pada tumbuh-tumbuhan diperbolehkan, kiranya inseminasi buatan pada hewan juga dibenarkan, karena keduanya sama-sama diciptakan oleh Tuhan untuk kesejahteraan umat manusia. (QS. Qaaf:9-11 dan An-Nahl:5-8).

Kedua; kaidah hukum fiqih Islam “al-ashlu fil asya’ al-ibahah hatta yadulla dalil ‘ala tahrimihi” (pada dasarnya segala sesuatu itu boleh, sampai ada dalil yang jelas melarangnya). Karena tidak dijumpai ayat dan hadits yang secara eksplisit melarang inseminasi buatan pada hewan, maka berarti hukumnya mubah.

Namun mengingat risalah Islam tidak hanya mengajak umat manusia untuk beriman, beribadah dan bermuamalah di masyarakat yang baik (berlaku ihsan) sesuai dengan tuntunan Islam, tetapi Islam juga mengajak manusia untuk berakhlak yang baik terhadap Tuhan, sesama manusia dan sesama makhluk termasuk hewan dan lingkungan hidup, maka patut dipersoalkan dan direnungkan, apakah melakukan inseminasi buatan pada hewan pejantan dan betina secara terus menerus dan permanen sepanjang hidupnya secara moral dapat dibenarkan? Sebab hewan juga makhluk hidup seperti manusia, mempunyai nafsu dan naluri untuk kawin guna memenuhi insting seksualnya, mencari kepuasan (sexual pleasure) dan melestarikan jenisnya di dunia.

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa mengembangbiakkan semua jenis hewan yang halal (yang hidup di darat, air dan terbang bebas di udara) diperbolehkan Islam, baik untuk dimakan maupun untuk kesejahteraan manusia. Pengembangbiakan boleh dilakukan dengan inseminasi alami maupun dengan inseminasi buatan. Inseminasi buatan pada hewan tersebut hendaknya dilakukan dengan memperhatikan nilai moral Islami sebagaimana proses bayi tabung pada manusia tetap harus menjunjung tinggi etika dan kaedah-kaedah syariah.

Wallahu A’lam Wa Bilahit taufiq wal Hidayah.

Jumaat, 20 Januari 2012

Memilih Jenis Kelamin Anak

Melakukan rekayasa untuk mempengaruhi jenis kelamin janin ternyata sudah lama dipraktikkan orang. Bukan hanya di Indonesia, namun juga di negeri-negeri lain. Beragam cara dilakukan, mulai dari berpatokan pada tanggal, posisi, sampai makanan. Ada cara yang ilmiah, namun ada pula yang sekedar mitos. Bagaimana tinjauannya dari sisi medis?

Wanita kerap dianggap sebagai faktor penentu jenis kelamin anak. Hingga, bila seorang wanita berturut-turut melahirkan anak dengan jenis kelamin tertentu (pria saja atau perempuan saja), dialah yang dianggap bersalah. Bahkan, pada sebagian kelompok masyarakat, seorang suami kadang sampai menceraikan istrinya karena dianggap tidak dapat memberikan keturunan dengan jenis kelamin tertentu sesuai dengan harapan keluarga besar. Padahal, justru prialah yang merupakan faktor penentu jenis kelamin anak. Karena, ia memiliki dua jenis kromosom pada sel spermanya, yaitu kromoson X dan Y

Antara mitos dan bukti ilmiah
Apabila orangtua menginginkan anak dengan jenis kelamin tertentu harus dilakukan sebelum terjadinya konsepsi (pertemuan sel telur dan sperma). Karena, setelah konsepsi berarti sudah terjadi penyatuan dan sudah tidak dapat lagi dilakukan rekayasa apa pun untuk mengubah jenis kelamin. "Meskipun alat kelamin (anak) belum terbentuk, tetapi jenis kelamin itu sudah ada.
Berdasarkan penelitian yang ada hingga saat ini, terbukti bahwa ada kemungkinan rekayasa yang dapat dilakukan manusia dalam menentukan jenis kelamin anak. Beberapa ada yang sudah terbukti secara klinis, ada yang sedang dalam tahap uji-coba, ada pula yang tidak terbukti. Cara-cara yang tidak terbukti secara ilmiah membuktikan bahwa sebenarnya keinginan manusia untuk mendapatkan anak dengan jenis kelamin tertentu ternyata sudah berjalan lama. Bahkan, pada masyarakat Jahiliyah mereka malu bila mendapat anak perempuan.
Pendapat yang beredar di masyarakat bahwa tanggal, posisi atau makanan tertentu dapat menentukan jenis kelamin anak terbukti tidak benar. Kepada orangtua yang menginginkan anak dengan jenis kelamin tertentu melakukan konsultasi dengan dokter agar tidak terkecoh dengan mitos-mitos yang banyak beredar di masyarakat.

Kromosom pria penentu jenis kelamin
Sel-sel normal pria mengandung dua kromosom berbeda, yang membawa sifat-sifat laki-laki atau perempuan. Karena itu, sel spermanya akan mempunyai dua kemungkinan kromosom, yaitu X (pembawa sifat perempuan) atau Y (pembawa sifat laki-laki). Tetapi, sel-sel perempuan mengandung dua kromosom X, sehingga sel telurnya selalu akan mempunyai kromosom X (pembawa sifat perempuan)

Apabila sperma yang membuahi telur mengadung kromosom X, maka hasilnya ialah embrio perempuan XX. Tetapi, apabila sperma tersebut mengandung kromosom Y, maka hasilnya ialah embrio laki-laki XY. Oleh karena itu, tanpa campur tangan dari luar, kemungkinan untuk menghasilkan anak laki-laki atau perempuan selalu mempunyai perbandingan 50:50. Rekayasa yang dapat dilakukan oleh manusia adalah mengusahakan agar kombinasi kromosom dari sel telur dan sperma terjadi sesuai dengan harapan, XX atau XY

Hanya saja, ternyata ada perbedaan yang jelas diantara kedua jenis sel sperma tersebut. Jenis yang mengandung kromosom X mempunyai ukuran yang jauh lebih besar daripada yang mengandung kromosom Y. Karena, kromosom X membawa lebih banyak DNA (2,8%)

Cara sederhana
Cara yang sederhana dilakukan dengan mempelajari sifat-sifat sel yang membawa kromosom. Angka keberhasilan cara sederhana ini cukup rendah. Berdasarkan sifatnya, kromosom Y bersifat cepat bergerak, tetapi tidak tahan lama. Sementara kromosom X, bergerak tidak cepat, tetapi tahan lama. Dari sifat itu, dapat melakukan cara yang sederhana agar kromosom X yang dibawa sel telur dapat bertemu kromosom X atau Y, sesuai dengan harapan masing-masing, yang terkandung pada sel sperma.

Caranya, dengan menentukan waktu saat senggama terkait dengan masa subur. Masa subur adalah masa pelepasan sel telur, atau sering disebut sebagai masa ovulasi. Umumnya, terjadi pada hari ke 14 sebelum haid pertama. Untuk mengetahui masa subur dapat diketahui melalui pencatatan (dalam kondisi tidak hamil dan menyusui) selama tiga bulan berturut-turut. Atau, bisa juga dengan pengukuran suhu tubuh yang rata-rata naik 1 derajat celcius selama masa subur.

Rata-rata sel sperma dapat bertahan selama 24 jam tetapi sperma yang kuat (baik) bertahan 3x24 jam. Bila menginginkan anak laki-laki, maka senggama dilakukan pada masa ovulasi. Berdasarkan sifat kromosom Y yang cepat bergerak tapi tidak tahan lama, maka kemungkinan terjadinya kombinasi kromosom XY lebih besar.

Sifat kromosom X lambat tapi tahan lama. Maka, bila menginginkan anak perempuan senggama dilakukan jauh-jauh hari sebelum masa subur. Dan sebaliknya, kalau kita mengharapkan yang ketemu X itu Y, maka senggamanya 3 atau 4 hari sebelum masa subur.

Suasana keasaman di ****** juga menentukan, bila tingkat keasaman atau PH ****** rendah berarti asam maka yang lebih tertahan hidup adalah kromosom Y. Bila suasananya basa (PH tinggi), maka yang lebih bertahan hidup adalah X. Mengganti suasana basa atau asam dapat dilakukan dengan cara yang sederhara, membasuh ****** dengan air cuka dapat membuat PH asam, membasuh ****** dengan air soda membuat menjadi basa, pembasuhan ****** ini dilakukan sebelum senggama.

Cara yang canggih
Ada satu metode yang menggunakan teknik modern dengan cara memisahkan sperma. Cara ini menggunakan inseminasi buatan. Sel sperma dikumpulkan di suatu tabung dan dipusingkan sampai terpisah antara yang membawa kromosom X dan Y, Kromoson Y berada berada diatas dan X berada dibawa. Tinggal mengambil mana yang dikehendaki. Inseminasi dapat dilakukan di luar (bayi tabung), bisa juga disemprotkan langsung ke dalam rahim hingga terjadi pembuahan normal.

Selasa, 17 Januari 2012

Ulasan Pendek keseluruhan Hukum-Hukum kontemparari

Fatwa Sains Dan Teknologi


Apakah hukumnya jika menggunakan kaedah bayi tabung uji untuk mendapatkan anak?


i. Bayi tabung uji dari benih suami isteri yang dicantumkan secara "terhormat" adalah sah di sisi Islam. Sebaliknya benih yang diambil dari bukan suami isteri yang sah, bayi tabung uji itu adalah tidak sah.
ii. Bayi yang dilahirkan melalui tabung uji itu boleh menjadi wali dan berhak menerima harta pusaka dari keluarga yang berhak.
iii. Sekiranya benih dari suami atau isteri yang dikeluarkan dengan cara yang tidak bertentangan dengan Islam, maka ianya dikira sebagai cara terhormat.

2. Apakah pandangan Islam tentang kewujudan bank air mani
i. Mengadakan bank air mani adalah haram dalam Islam
ii. Sekiranya bank air mani telah sedia wujud maka kerajaan hendaklah bertindak untuk menghapuskannya
iii. Permanian beradas yang dilakukan kepada manusia adalah haram kecuali jika air mani daripada suami didapati secara muhtaram (yang diluluskan oleh syarak), dibenarkan oleh Islam..
iv. Penglibatan doktor pakar atau mana-mana pihak yang berkaitan dengan bank air mani adalah haram

3. Bagaimanakah pandangan Islam tentang pemindahan jantung dan mata orang mati kepada orang yang hidup?


Pemindahan mata dan jantung orang mati kepada orang yang hidup adalah dibenarkan (harus) dalam Islam, dan di atas kebenarannya pertimbangan-pertimbangan berikut hendaklah diambil kira:

Di dalam keadaan mendesak dan mustahak (dahrurat), bahawa nyawa penerimanya bergantung kepada pemindahan anggota itu dan pemindahannya adalah difikirkan berjaya.
Di dalam keadaan pemindahan jantung, kematian penderma telah dipastikan sebelum dipindahkan jantungnya.
Tindakan-tindakan yang sewajarnya hendaklah diambil supaya tidak ada pembunuhan manusia dan perdagangan anggota-anggotanya
Kebenaran hendaklah diperolehi daripada penderma-penderma sebelum pemindahan sebarang anggota di dalam kematian biasa atau dari kaum keluarga atau keluarganya di dalam kematian akibat kemalangan.


4. Bagaimanakah hukum jika seseorang Islam menderma darah kepada orang bukan Islam dan sebaliknya?


i. Menderma darah hukumnya harus
ii. Tidak perlu diasingkan darah orang Islam daripada darah orang bukan Islam
iii. Penghargaan dalam bentuk bayaran kepada penderma darah tidak digalakkan.


5. Bagaimanakah pandangan Islam terhadap pembedahan mayat orang Islam (post-mortem)?

Pembedahan mayat orang Islam hanya boleh dilakukan jika keadaan benar-benar memerlukan (dharurat) sahaja seperti terlibat di dalam kes-kes jenayah yang sangat memerlukan bedah siasat atau si mati tertelan benda berharga atau si mati sedang mengandung sedangkan kandungannya masih hidup.

6. Bolehkah kandungan janin digugurkan kerana berlaku kecacatan pada janin tersebut?


Adalah haram menggugurkan janin di dalam kandungan, kecuali atas sebab-sebab kecacatan yang teruk yang boleh membahayakan nyawa ibu

7. Bagaimanakah pandangan Islam bagi seseorang perempuan yang menggugurkan kandungan atas nasihat doktor yang disebabkan kecacatan


i. Menurut Ijmak Fuqaha’, haram menggugurkan janin yang telah berumur lebih 120 hari kerana pengguguran itu dianggap satu jenayah bunuh ke atas janin yang telah ditiupkan roh kecuali pengguguran itu untuk menyelamatkan nyawa ibu atas sebab-sebab kecacatan yang teruk.

ii. Makruh menggugurkan janin yang berumur antara 1 hari hingga 40 hari sekiranya tidak mendatangkan bahaya pada ibu dan mendapat persetujuan daripada kedua-dua suami isteri.

iii. Ijmak Fuqaha’ berpendapat pengguguran janin yang berumur sebelum 120 hari harus sekiranya janin itu cacat dan berpenyakit yang boleh membahayakan nyawa ibu.

8. Apakah hukumnya menggunakan berus yang diperbuat daripada bulu babi?


Penggunaan berus yang diperbuat daripada bulu babi adalah haram. Sekiranya tidak pasti sama ada berus tersebut daripada bulu babi atau tidak maka harus digunakan.


9. Apakah hukumnya menggunakan baja yang diperbuat dariapda najis seperti najis khinzir,lembu dan sebagainya


i. Bahawa baja yang diperbuat daripada tahi babi adalah najis mughallazah, sementara hukum menggunakannya sebagai baja adalah harus serta makruh.

ii. Bahawa makanan ayam yang diperosses daripada bahan-bahan yang bercampur dengan najis seperti darah lembu, darah babi dan lain-lain adalah harus atau halal


10. Bagaimanakah kedudukan Mak Nyah dalam Islam?

i. Pertukaran jantina dari lelaki kepada perempuan atau sebaliknya melalui pembedahan adalah haram dari segi syarak.

ii. Seseorang yang dilahirkan "khunsa musykil" iaitu manusia yang dilahirkan mempunyai dua alat kemaluan, lelaki dan perempuan diharuskan pembedahan bagi mengekalkan salah satu alat jantina yang benar-benar berfungsi supaya dapat digunakan mengikut keadaan yang sesuai.


11. Pandangan Islam mengenai pengklonan
Panel Kajian Syariah dalam mesyuaratnya pada 1 Mac 2002 telah memutuskan bahawa:
1) Pengklonan untuk tujuan pembiakan manusia hukumnya adalah haram, kerana ianya bertentangan dengan fitrah kejadian manusia.
i) Perbuatan ini akan menjatuhkan darjat manusia sama seperti haiwan dan bertentangan dengan hikmat kejadian manusia seperti yang diterangkan Allah SWT di dalam ayat 70, surah AI-Isra', dan ayat 12-14, surah Mu'minun, juga ayat 4, surah At-Tin.
ii) Pengklonan jenis ini juga akan memberikan implikasi yang buruk kepada individu dan masyarakat. Akibatnya, akan terhakis ikatan kekeluargaan dari segi syarak dan undang-undang. Hal ini bukan sahaja akan menafikan hak si anak, malah akan menimbulkan komplikasi, jika si 'ayah' atau si 'ibu' tidak lagi mahu bertanggungjawab terhadap hak tersebut. Kedudukan anak serta ibu tidak lagi terjamin dari segi nafkah, harta pesaka dan sebagainya setelah berlaku perpisahan atau kematian.
iii) Kebenaran menggunakan kaedah ini kepada wanita yang tidak berkahwin akan menambahkan lagi masalah ibu tunggal dan anak yang tidak mendapat kasih sayang bapa. Hal ini menjadi lebih serius dalam jangka panjang, iaitu berkemungkinan bahawa kaum lelaki tidak diperlukan lagi kerana pembiakan tidak lagi bergantung kepada sperma lelaki.
iv) Kaedah ini juga akan memusnahkan institusi keluarga, dan bertentangan dengan fitrah kejadian manusia yang telah ditetapkan oleh Allah SWT seperti yang tersebut di dalam ayat 30, surah Ar-Rum. '

12. Apa pandangan Islam mengenai Botox?


Muzakarah Jawatankuasa majlis Fatwa Kebangsaan yang dipengerusikan oleh Prof Datuk Dr Abdul Shukor Husin memutuskan:
i. Suntikan Botox untuk tujuan kosmetik adalah haram kerana mengandungi bahan meragukan dan bersifat najis.
ii. Bagaimanapun, suntikan itu dibenarkan untuk tujuan perubatan dengan penggunaannya dikategori sebagai dalam keadaan dharurat dan berdasarkan keperluan serta dilakukan oleh pakar bertauliah.

13. Hukum diagnosa genetik implantasi (PGD)

Hukum menentukan jantina anak dengan cara saintifik tidak melanggar hokum agama. Hukum harus berdasarkan beberapa syarat iaitu:

i.menggunakan benih saumi isteri sah

ii. Manusia hanya berusaha tetapi tidak boleh terlalu yakin
iii. Tidak terbabit pihak ketiga (mrnggunakan mani orang lain selain suami wanita berkenaan)


Petikan daripada Keputusan Fatwa Kebangsaan dikeluarkan oleh Jabatan Kemajuan Islam Malaysia.